Borneotribun.com -- Kepala Perwakilan PT BGA, Riduan Mengatakan kepada awak pers Bahwa Proses Lelalng Resmi Negara Yang Lakukan. |
Pasalnya, hasil proses lelang yang telah mereka menangi melalui prosedur lelang resmi yang dilakukan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Pontianak melalui Pengadilan Negeri Ketapang berdasarkan Risalah Lelang No 134/2015 tertanggal 26 Mai 2015 saat ini malah di klaim sejumlah masyarakat sebagai lahan perkebunan mereka.
Saat dikonfirmasi, Kepala perwakilan PT BGA, Riduan mengatakan kalau banyak kejanggalan terkait polemik yang saat ini dihadapi pihaknya, hal tersebut lantaran lahan perkebunan eks PT BIG yang mereka miliki merupakan hasil lelang resmi yang dilakukan KPKNL Pontianak melalui Pengadilan Negeri Ketapang.
"Lelang ini resmi, negara yang lakukan, awalnya sudah empat kali dilakukan tetapi tidak ada yang berminat, nah ketika lelang kelima terhadap
tiga aset SHGU perusahaan PT. Subur Ladang Andalan (SLA), PT. Bangun Maya Indah (BMI), PT. Duta Sumber Nabati (DSN), (Benua Indah Group-red) kami melalui PT ISL (BGA Grup-red) ikut sesuai prosedur dan membayar biaya lelang sebesar Rp 160 miliar lebih, hingga akhirnya kami dinyatakan sebagai pemenang lelang oleh KPKNL melalui Pengadilan Negeri Ketapang memenangkan berdasarkan Risalah Lelang No 134/2015 tertanggal 26 Mai 2015," ungkapnya.
Riduan melanjutkan, sebelum ditetapkan sebagai pemenang lelang, dalam proses pelelangan KPKNL Pontianak meminta Kantor Pertanahan atau BPN Kabupaten Ketapang mengeluarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) pada tanggal 23 Oktober 2014 sesuai dengan surat a. No.45/2014, PT. Subur Ladang Andalan (4.397,68Ha), b. No. 46/2014, PT. Duta Sumber Nabati (3.087 Ha), c. No.47/2014,PT. Bangun Maya Indah(4.034Ha). Yang mana dalam surat tersebut dijelaskan bahwa status riwayat tanah secara yuridis dan fisik atas suatu bidang tanah dan Objek lelang sesuai dengan data buku tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Ketapang.
Riduan menjelaskan, setelah dinyatakan sebagai pemenang dan melalui proses administrasi lainnya, pada tanggal 8 Oktober 2015 pihaknya mengajukan proses balik nama atas SHGU dari PT. SLA menjadi PT. Wahana Hijau Indah (WHI), PT. DSN menjadi PT. Sentosa Prima Agro (SPA), PT BMI menjadi PT. Raya Sawit Mandiri (RSM) yang semuanya masuk dalam BGA Grup.
"Sebelum proses balik nama telah dilaksanakan Pengecekan Lapangan dan Pemetaan Kadastral oleh Kepala Kantor Pertanahan atau BPN Ketapang yang dituangkan dalam Berita Acara pemeriksaan menyatakan bahwa Patok Batas HGU maupun Batas dilapangan sesuai dengan yang tercantum didalam sertifikat," terangnya.
Riduan menambahkan, selama proses lelang hingga bukti HGU bentuk peta vertikal menjadi milik pihaknya, sama sekali tidak ada yang mengklaim lahan hasil lelang tersebut, bahkan pada saat kami memenangi lelang masyarakat yang sebelumnya merawat dan memanen tanaman inti PT BIG menyerahkan kebun inti kepada kami dengan meminta tali asih lantaran telah merawat kebun inti yang vacum dan saat itupun pihaknya telah memberikan tali asih secara wajar dan diterima oleh masyarakat.
"Artinya secara objektif masyarakat mengakui kalau kebun tersebut milik perusahaan dan yang perlu diketahui selama kurang lebih 20 tahun tanaman berada di dalam objek lelang tidak ada surat peringatan ataupun teguran dari BPN maupun instansi terkait lainnya," jelasnya.
"Persoalan ini muncul karena BPN menerbitkan 2 peta bidang tanah yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya yaitu kutipan Peta Situasi No. 12/1991, tanggal 16 Juni 1997, yang melekat di SHGU PT. SLA (PT. WHI) dan PT. BMI (PT. RSM) dengan bentuk peta bidang tanah Vertikal dan Gambar Situasi No. 12/1991, tanggal 2 september 1991, sesuai dengan data yang ada di KKP (Komputer Kantor Pertanahan BPN) dengan bentuk peta bidang tanah Horizontal. Harusnya apabila dari awal BPN menyatakan HGU Horizontal maka seharusnya BPN mengeluarkan surat peringatan atau teguran pada PT BIG dan proses lelang yang dilakukan KPKNL tidak memberikan kami HGU Vertikal selaku pemenang lelang," tegasnya.
Untuk itu, Riduan mengaku kalau niat baik pihaknya selain karena pertimbangan bisnis namun yang paling penting karena mempertimbangkan imbauan Pemda Ketapang dalam rangka membantu masyarakat plasma PT BIG yang terpuruk akibat persoalan yang dihadapi BIG serta karena adanya permintaan masyarakat dari belasan desa di lingkungan PT BIG saat itu malah terkesan saat ini membuat pihaknya merasa dirugikan atas persoalan yang terjadi saat ini.
"Kita yang dirugikan, karena saat mau operasional malah banyak gangguan, kalau seperti itu kita bisa saja menuntut pihak yang menggelar lelang bahkan menuntut BPN karena tidak konsisten mengeluarkan dua peta HGU yang memicu munculkan polemik ini. Kita intinya memegang HGU Vertikal yang diberikan oleh negara atas hasil lelang, kalaupun BPN memaksakan HGU eks BIG berbentuk horizontal maka secara faktual HGU tersebut tumpang tindih dengan ribuan SHM masyarakat bahkan terdapat rumah ibadah hingga sekolahan, pertanyaan kami apakah mungkin ada produk hukum tentang alas hak tanah yakni HGU dan SHM yang sama-sama di terbitkan oleh BPN berada pada obyek tanah yang sama, apakah BPN mau bertanggung jawab jika kepada masyarakat pemilik ribuan SHM jika kami dipaksa menerima HGU horizontal padahal saat menang lelang yang kami terima HGU vertikal," ketusnya.
Untuk diketahui, persoalan sejumlah masyarakat Dusun Mambuk Kecamatan Tumbang Titi kembali mencuat pasca Komisi II DPRD Ketapang menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) beberapa waktu lalu hal tersebut semakin diperparah lantara Komisi II DPRD Ketapang yang diketuai Uti Royden Top sama sekali tidak memasukkan pernyataan perusahaan ke dalam hasil notulen RDPU sehingga hasil RDPU hanya memuat pernyataan dan tuntutan dari masyarakat dan BPN sehingga membuat kesan tidak profesional dan sepihak dalam RDPU yang seharusnya memuat pernyataan para pihak terkait.*** (jk)
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS