Berita Ketapang: Pembunuhan Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label Pembunuhan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pembunuhan. Tampilkan semua postingan

September 17, 2021

Dipengaruhi Minuman Keras Karyawan PT Cargil Group Bunuh Rekan Kerjanya Pakai Parang

Borneotribun.vom - Kapolres Ketapang AKBP Yani Permana SIK Laksanakan Konferensi Pers di Aula Polres Ketapang. Pada Selasa (14/9/2021)

 Borneotribunketapang - seorang lelaki berusia 30 Tahun meninggal dunia setelah dihabisi pakai Parang oleh rekan kerjanya di area perumahan karyawan PT Andes Sawit Lestari Cargil Group di Desa Banjar Sari Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Korban diketahui bernama Merianus Feri Yanto Saifatu dan pelaku pembunuhan bernama Yostus Kabu (58 tahun.

Terungkapnya kasus pembunuhan tersebut berawal dari anggota polsek kendawangan mendapatkan laporan dari warga masyarakat bahwa telah terjadi pembunuhan di area perumahan karyawan PT Andes Sawit Lestari Cargil Group.

Berdasarkan hasil penyelidilan serta olah TKP serta keterangan dari beberapa saksi terungkap Korban dihabisi oleh rekan kerjanya sesama karyawan di PT Ades Sawit Lestari Cargil Group. 

Kapolres Ketapang AKBP Yani Permana.  SIK didalam Keterangan persnya belum lama ini menjelaskan, bahwa terungkapnya kasus ini tidak lerlepas dari peran masyarakat yang selalu membantu pihak kepolisian dalam meberikan berbagai informasi.

"kasus ini diungkap oleh Polsek Kendawangan setelah mendapatkan informasi dari masyarakat setempat, korban bernama Merianus Feri Yanto Saifatu warga dusun membuluh II,  Desa Seriam kecamatan Kendawangan,  dan pelaku juga warga yang sama,  keduanya merupakan karyawan PT Andes Sawit Lestari Cargil Group"

Sambung Kapolres" pelaku sempat kabur setelah lakulan pembunuhan,  namun tak lama berhasil ditangkap diperumahan karyawan PT MSJ di seriam,  dari tangan pelaku anggota mengamankan sebilah parang yang diduga untuk menganiaya korban hingga meninggal ditempat"ujuar kapolres

Lebih lanjut Yani Menerangkan,  dari keterangan istri korban Enjel Tahoni (38) mengaku dirinya sempat meminta bantuan ke pos jaga satpam namun saat kembali saksi melihat kalau suaminya sudah tewas.  Sebelum kejadian saksi melihat antara korban dengan pelaku sempat ngobrol namun memang dalam kondisi dibawah pengaruh minuman keras. 


"keduanya sempat cekcok,  korban sempat mengatakan tolol sehingga pelaku marah dan melakukan pembunuhan. Kejadiannya hari Minggu 12 September 2021 dan untuk  Pelaku sendiri terancam dengan pasal 338 KUHP tentang tindak pidana pembunuhan,  ancamannya 15 tahun Penjara" pungkas Mantan Kapolres Kubu Raya itu. 

Diterbitkannya berita imi awak media borneotribun.com belum bisa melakulan konfirmasi ke pihak PT Andes Sawit Lestari Cargil Group. ***(jk)

Mei 17, 2021

Ditemukan Seorang Pria Tidak Bernyawa dengan Kondisi Bersimbah Darah

Ditemukan Seorang Pria Tidak Bernyawa dengan Kondisi Bersimbah Darah
Ditemukan Seorang Pria Tidak Bernyawa dengan Kondisi Bersimbah Darah.

BorneoTribun Sumsel -- Ditemukan Seorang pria warga Lorong Indrawati Kelurahan 11 Ulu Kecamatan SU II tidak bernyawa dengan kondisi bersimbah darah dengan luka di dada sebelah kiri, Sabtu (15/5) sekira pukul 16.00 WIB.

Dilansir BorneoTribun dari Infosumsel.id, diketahui korban yakni Ali Saibi (50) warga Lorong Sehati Kelurahan 11 Ulu Kecamatan SU II Palembang. Sebelum peristiwa berdarah itu, sekitar pukul 15.00 WIB, keponakan korban yakni Agung Satria (20) sedang silaturahmi ke rumah tetangga. Lalu mendapat kabar kalau korban ditemukan warga terkapar di TKP.

Saat ditemukan oleh warga, korban dalam posisi terlentang dan tangan kirinya memegang sebilah senjata tajam jenis parang. Namun untuk saat ini belum diketahui motif dan siapa pelakunya, 

"Sewaktu saya dapat kabar saat itu saya lagi bertamu ke rumah tetangga-tetangga di sekitar rumah, lalu saya mendapatkan kabar dari warga yang mengatakan paman sudah terkapar di lorong Indrawari bersimbah darah. Ketika saya cek ke sana ternyata benar itu paman saya," ucap Agung Sabtu (15/5/2021) sore.

Lanjutnya, dirinya mengungkapkan bahwa dirinya tak mengetahui persis tragedi tersebut. Apalagi korban sudah ditemukan di TKP oleh warga sudah tak bernyawa lagi, 

"Saat saya sampai di TKP dan saya melihat paman sudah kita bernyawa lagi, lalu warga pun sudah ramai di TKP, saya dan warga langsung melaporkan kejadian tersebut ke polisi," bebernya.

Petugas yang mendapatkan laporan dari warga di TKP bahwa adanya penemuan mayat tersebut, petugas piket SPKT, Identifikasi dan piket Reskrim Unit Pidsus serta Polsek SU I langsung mendatangi tempat kejadian perkara (TKP) kemudian jenazah di larikan ke kamar mayat RS Bhayangkara Palembang untuk divisum.

Selain mengevakuasi jenazah petugas Satreskrim Polrestabes Palembang dan Polsek Su II, masih melakukan penyelidikan dan mengambil keterangan saksi-saksi di lapangan guna penyelidikan lebih lanjut.

Sementara itu, Kasubbag Humas Polrestabes Palembang Kompol M Abdullah ketika dikonfirmasi membenarkan adanya penemuan mayat atas korban yakni Ali saibi yang sudah meninggal dunia bersimbah darah.

"Ketika mendapatkan laporan petugas piket, Reskrim dan Polsek langsung mendatangi TKP dan membawa jenazah ke RS Bhayangkara Palembang," ujar Abdullah.

Lanjutnya, untuk sementara kasusnya masih dalam proses penyelidikan.

"Korban meninggal akibat luka tusuk di bagian dada atau rusuk sebelah kiri, dan siapa pelaku masih dalam penyelidikan, barang bukti ditemukan sebilah parang di tangan korban," tutupnya.

(Yk/Yl)

Mei 13, 2021

Empat Warga Dibunuh Teroris MIT, Pemerintah Didesak Bersikap Tegas

Keluarga korban pembunuhan kelompok MIT berkumpul di sekitar peti jenazah, sebelum dibawa ke tempat peristirahatan terakhir, Rabu, 12 Mei 2021. (Foto : Yoanes Litha).

BorneoTribun Palu -- Ratusan orang menghadiri pemakaman empat warga desa Kalemago, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, Sulteng yang sehari sebelumnya dibunuh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Warga mendesak pemerintah bersikap tegas memburu kelompok itu untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban.

Isak tangis keluarga korban semakin kuat ketika satu demi satu dari empat peti jenazah mulai dipaku sebelum dibawa menuju pemakaman umum desa Kalemago, Lore Timur.

Semar (7) tahun hanya bisa menangis sambil menyandarkan tubuhnya ke salah seorang anggota keluarga yang berupaya menenangkannya. Bocah perempuan itu ingin mencegah peti mati yang berisi jasad pamannya, Paulus Papah, dibawa ke lokasi pemakaman. Menurut pihak keluarga, Semar sangat dekat dengan pamannya itu.

Paulus Papah adalah satu satu dari empat warga desa Kalemago, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso yang dibunuh oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur pada Selasa (11/5) ketika sedang memanen buah kopi di kebun yang berjarak sejauh dua kilometer dari desa itu. Keempatnya beragama Kristen.

Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah Komisari Besar Polisi Didik Supranoto memperlihatkan foto sembilan anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Rabu, 12 Mei 2021. (Foto: Yoanes Litha)

Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah Komisari Besar Polisi Didik Supranoto, mengatakan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) diduga kuat merupakan pelaku pembunuhan empat petani itu. Empat korban itu adalah Lukas Lese, Marten Solo, Paulus Papah dan Simson Susah. Mereka sedang memanen buah kopi ketika didatangi lima anggota kelompok teroris MIT.

“Semua korban ini berada di kebun yaitu di kebun kopi, kemudian berdasarkan keterangan saksi didatangi oleh lima orang. Nah lima orang ini, salah satunya dikenal oleh saksi mereka adalah Daftar Pencarian Orang (DPO) Mujahidin Indonesia Timur yang bernama Qatar,” kata Didik Supranoto saat memberikan keterangan pers di Mapolda Sulawesi Tengah, Rabu pagi (12/5).

“Saksi kemudian melapor kepada Kepala Desa. Kepala Desa melapor ke Polsek, setelah itu Satgas Madago Raya mendatangi Tempat Kejadian Perkara (TKP), disitulah kita temukan di lokasi pertama ada dua korban. Tidak jauh dari situ ditemukan lagi dua korban lainnya, jadi jumlahnya ada empat yang meninggal dunia,” papar Didik Supranoto.

Prosesi ibadah pemakaman untuk empat warga yang dibunuh kelompok MIT di Balai Desa Kalemago, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Rabu, 12 Mei 2021. (Foto: Yoanes Litha)

Dari pemantauan VOA di lokasi, empat peti mati berwarna putih itu diletakkan berjejer di Balai Desa Kalemago, tempat kegiatan ibadah pemakaman itu digelar. Ratusan pelayat memadati tenda-tenda yang disiapkan hingga ke rumah-rumah warga di sekitar tempat itu. Setelah prosesi ibadah pemakaman, keempat peti mati yang berisi jenazah para korban MIT itu kemudian diusung untuk dimakamkan di pekuburan umum di desa itu.

Desak Presiden Jokowi Bertindak Tegas

Otniel Papunde, Sekretaris Desa Kalemago kepada VOA mengatakan pembunuhan empat warga di desa itu berdampak pada psikologis warga yang kini diliputi rasa ketakutan dan tidak aman. Diungkapkannya selama ini warga di desa itu berada dalam situasi serba salah, di satu sisi mereka takut untuk ke kebun karena khawatir bertemu kelompok MIT, tapi di sisi yang lain bila tidak ke kebun maka mereka tidak punya sumber pendapatan ekonomi keluarga.

Warga mengusung empat peti mati menuju pekuburan Desa Kalemago, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Rabu (12/5/2021) Foto : Yoanes Litha

Ia berharap pemerintah pusat segera bertindak tegas agar gangguan keamanan di wilayah itu tidak berlarut-larut dan terus jatuh korban jiwa warga tidak berdosa.

“Kalau bisa disampaikan saja kepada Presiden supaya ini jangan main-main karena kita lihat ini sudah lama kasihan. Kami dari desa tetangga berapa lagi korban itu yang dalam artian satu lingkungan kami di Lore Timur ini. Jadi kalau bisa bagaimana kerjasamanya ini supaya ini benar-benar tuntas karena kebanyakan masyarakat kami di Kalimago itu di lereng-lereng situ menjadi nafkah kehidupan,” harap laki-laki berusia 45 tahun itu.

Lokasi Kebun Jauh, Warga Kerap Menginap Ketika Panen

Menurut Otniel, dari 210 keluarga – dengan total 735 jiwa – di desa Kalemago , 95 persen berprofesi sebagai petani yang mengolah tanaman kakao dan kopi di lereng-lereng gunung. Karena berada di lokasi yang jauh, warga biasa bermalam di kebun, khususnya saat memanen hasil kebun.

Prosesi pemakaman empat warga yang dibunuh kelompok MIT di Desa Kalemago, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Rabu, 12 Mei 2021. (Foto: Yoanes Litha)

“Harapan kami kepada pemerintah kepada Presiden bahwa kalau tidak tuntas ini maka kami disini tidak akan bisa lagi keluar untuk mencari nafkah, dalam artian kami mau bagaimana nanti desa Kalimago ini. Korban berjatuhan terus, apalagi aduh kami semua ini banyak korban ini Pak, terus terang kayak sudah tidak diperhatikan kami ini,” kata Otniel dengan suara lirih.

Bupati Janji Bantu Ekonomi Keluarga Yang Khawatir Berkebun

Menjawab pertanyaan VOA, Bupati Poso, Verna Gladies Merry Inkiriwang mengatakan pemerintah kabupaten Poso akan berupaya membantu warga yang nampaknya dalam beberapa waktu ke depan belum dapat ke kebun karena alasan keamanan.

Anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah, Sabtu, 7 November 2020, saat melakukan penyisiran di Kelurahan Mamboro, Palu Utara, Kota Palu Sulawesi Tengah, mencari keberadaan 2 DPO teroris MIT. (Foto: dok).

“Yang menjadi PR (pekerjaan rumah.red) kami adalah bagaimana kami bisa menyuplai dan untuk sementara waktu bisa kami menjamin kehidupan masyarakat teristimewa yang berada di Kalimago ini sehingga masyarakat tidak kesusahan untuk melanjutkan kehidupan apalagi kebutuhan paling dasar untuk makan dan minum,” jelas Verna ketika melayat di desa Kalimago.

Pemerintah Kabupaten Poso menegaskan pihaknya secara terus menerus berkoordinasi dengan dengan TNI-POLRI serta pemerintah provinsi dan pemerintah pusat untuk mengatasi gangguan keamanan yang masih kerap terjadi terjadi di wilayah itu. [yl/em]

Oleh: VOA

Mei 04, 2021

Keluarga Korban Kekerasan di Papua: Kami Butuh Jawaban, Bukan Jamsostek Semata

Windy (yang ketika itu baru berusia 10 tahun) dan ibunda Harry Siregar menangis pilu dalam upacara pemakaman di Jakarta, April 2011. (Foto: pribadi)

BorneoTribun Jakarta -- Sepuluh tahun pasca tewasnya dua karyawan Freeport di Timika, Papua, keluarga masih tak lelah mencari jawaban untuk mengetahui siapa pelaku pembunuhan itu.Meski mendukung penetapan status organisasi teroris terhadap kelompok separatis bersenjata di Papua, mereka ragu ini akan menyelesaikan masalah.

Foto Windy, gadis kecil berusia 10 tahun yang menangis pilu di pelukan neneknya ketika ayahnya, Harry Bonatama Siregar, dimakamkan di TPU Pondok Kopi, Jakarta, setelah diterbangkan dari Timika, Papua, pada 11 April 2011, masih membekas. Kini Windy dan anak salah seorang korban lainnya yaitu Daniel Mansawan, sudah sama-sama berkuliah di Institut Pariwisata Bali Internasional dan ia sudah bisa bertanya, siapa yang membunuh dan membakar ayah mereka di Timika sepuluh tahun lalu.

Diwawancarai melalui telepon akhir pekan lalu, Linda Gurning, istri mendiang Harry Siregar, masih tak kuasa menahan kesedihan mengingat peristiwa itu.

Foto-foto keluarga Harry Bonatama Siregar saat masih bertugas di Departemen Security Risk Management PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, sebelum tewas dibunuh 7 April 2011. (Foto: pribadi)

“Saya masih ingat betul tanggal 7 April 2011 itu mengantarnya pergi bekerja dalam keadaan sehat wal'afiat. Dia sempat pulang untuk makan siang jam 12 dan kembali bekerja jam 1. Kemudian seharian itu saya disibukkan dengan pekerjaan lain dan baru menyadari ada insiden itu sore hari. Saya telepon-telepon tidak masuk. Lalu ada informasi ada dua korban masuk di klinik. Tetangga-tetangga saya mengatakan “kita kena, kita kena” dan saya tidak paham maksudnya, tapi kami langsung berangkat," kenangnya.

"Saya bersama Windy. Waktu itu dia baru duduk di kelas tiga SD. Sejak kami menunggu di klinik, semua orang diam. Tidak ada yang bisa menjelaskan apa yang terjadi. Mengapa suami saya ditembak dan dibakar sehingga mayatnya pun tidak bisa kami kenali lagi. Siapa yang melakukannya? Kenapa? Ada apa di mil 37 itu?,” tanyanya beruntun.

Lulusan Universitas Indonesia itu pun kemudian mendatangi pihak Freeport Indonesia di mana suaminya bekerja, kepolisian dan TNI di Timika, Komnas HAM, DPR, Ombudsman dan beberapa lembaga lain guna mendapat jawaban. Namun hingga sepuluh tahun berlalu, tidak pernah ada penjelasan resmi tentang insiden di mil 37 Timika pada 7 April 2011 itu.

Linda Gurning: “Setiap Kali Bertanya, Dibalas dengan Jamsostek Sudah Dibayarkan Khan?”

“Tolong bantu saya sebagai keluarga korban, ini ada apa? Ia (Harry) pergi kerja dalam keadaan sehat, mengapa pulangnya luluh lantak begini. Hasil otopsi dokter RSCM mengatakan ia dibunuh dengan cara dibakar hidup-hidup. Paru-parunya masih mengembang ketika ia dibakar. Darahnya jadi arang. Bagi saya kondisi ini mengenaskan dan pedih. Ia sebagai warga negara Indonesia, pergi dalam keadaan baik dan pulang luluh lantak tanpa ada penjelasan," jelasnya.

Linda Gurning, istri mendiang Harry Siregar, yang datang menabur bunga di Mil 37, TImika, Papua, dengan pengawalan ketat karena rentannya situasi keamanan. (Foto: pribadi)

"Saya pernah datang ke mil 37 di mana Harry dibunuh untuk menabur bunga, karena nyawanya dicabut di tempat itu. Kami datang dengan pengawalan ketat. Tidak ada kesempatan bagi saya untuk bertanya pada warga sekitar,” ujar Linda yang sepeninggal suaminya menjadi tulang punggung keluarga.

Yang lebih menyakitkan lagi, kata Linda, adalah setiap kali ia bertanya, “mereka justru bertanya... Jamsostek sudah dibayar khan? Bagi saya, kok begitu. Ini nyawa orang. Ini nyawa suami saya, ayah anak saya. Jamsostek atau dana apapun itu tidak seharga dengan nyawanya. Nyawa itu Tuhan yang kasih, bukan manusia. Saya tahu saya bukan siapa-siapa dan sudah terlalu banyak kepentingan di Papua, tapi saya akan terus bertanya mengapa suami saya dan temannya (Daniel Mansawan), yang naik mobil dengan plat Brimob itu dihabisi,” ujarnya lirih.

Harry Bonatama Siregar dan putrinya Windy, ketika bertugas di Departemen Security Risk Management PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, sebelum tewas dibunuh 7 April 2011. (Foto: Pribadi)

Pemerintah Tetapkan KSB di Papua Sebagai Organisasi Teroris

Beberapa tahun terakhir ini aksi kekerasan di sebagian Papua kembali melonjak. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam laporan tahunan Desember lalu mengatakan ada 40 aksi kekerasan sepanjang tahun 2020, baik yang dilakukan TNI, Polri, maupun keduanya. Sebagian besar terjadi di empat wilayah konflik, yaitu Kabupaten Intan Jaya, Nduga, Maybrat dan Kota Timika.

Namun KontraS tidak melaporkan aksi kekerasan yang dilakukan kelompok bersenjata yang menurut aparat keamanan juga ikut memperkeruh suasana. Yang terakhir adalah kontak tembak di Kabupaten Puncak yang menewaskan Kepala BIN Daerah Papua Brigjen TNI I Putu Danny Karya Nugraha pada 25 April dan disusul kontak tembak lain di daerah yang sama pada 27 April yang menewaskan seorang polisi dan melukai dua lainnya.

Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan Organisasi dan Orang-Orang di Papua yang Lakukan Kekerasan Masif Dikategorikan Teroris. (Foto: Facebook/Kemenko Polhukam RI)

Menko Polhukam Mahfud MD pada 29 April menetapkan kelompok kriminal bersenjata yang terus menerus melakukan kekerasan masif di Papua dan Papua Barat sebagai teroris. Menurutnya, berdasarkan UU Tindak Pidana Terorisme, kekerasan yang dilakukan sudah masuk kategori terorisme. “Untuk itu pemerintah sudah meminta Polri, TNI, BIN dan aparat-aparat terkait untuk segera melakukan tindakan cepat, tegas dan terukur menurut hukum,” tegas Mahfud.

Kebijakan Baru Pemerintah Dinilai “Jalan Pintas”

Penetapan itu dikecam keras sejumlah LSM dan pemerhati isu Papua, tapi tidak sedikit pula yang mendukung langkah pemerintah itu.

Ketua Setara Institute Hendardi. Foto: Setara

Setara Institute menyebut penetapan pemerintah itu sebagai “jalan pintas.” Dalam pernyataan tertulisnya, Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan “kebijiakan pelabelan pemerintah terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai teroris menggambarkan ketidakcakapan pemerintah dalam mengelola dan meniti resolusi konflik di Papua dan ekspresi sikap putus asa pemerintah yang tidak kunjung tuntas menangani kelompok perlawanan Papua. Bukannya membangun dialog Jakarta-Papua dan mengurangi pendekatan keamanan, pemerintah justru mempertegas pilihan kekerasan bagi penanganan Papua.”

Ia menilai kebijakan itu kontraproduktif, “rentan menimbulkan pelanggaran HAM serius” dan “menutup ruang dialog Jakarta-Papua yang direkomendasikan banyak pihak sebagai jalan membangun perdamaian.

Hal senada disampaikan Amnesty International Indonesia. Diwawancarai melalui telepon, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan “pelabelan itu mendorong Papua memasuki fase berbahaya.”

Ia menjabarkan bagaimana pada beberapa tahun terakhir ini melonjak pesat apa yang disebutnya sebagai “pembunuhan di luar hukum,” yang tahun lalu saja, kata Usman Hamid, mencapai 50-an kasus. “Untuk tiga bulan pertama tahun ini saja sudah ada lima kasus dan total korban tujuh orang,” ujarnya tanpa memberi perincian lebih jauh.

“Jadi kami khawatir sekali dengan kebijakan baru sekarang, penetapan Organisasi Papua Merdeka (OPM), atau Kelompok Separatis Bersenjata (KSB), atau Kelompok Kriminal Bersenjata KKB, yang semuanya merupakan label dari pemerintah, sebagai organisasi teroris. Ini akan menjadi pembenaran bagi pemerintah untuk menggelar operasi keamanan yang berpotensi menimbulkan persoalan HAM yang lebih besar,” tambahnya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. (Foto: VOA/Anugrah Andriansyah)

Usman Hamid, yang sudah puluhan tahun malang melintang menjadi aktivis HAM, mengatakan ia tidak menutup mata atas aksi kekerasan yang juga dilakukan kelompok bersenjata.

“Ini juga tidak dapat dibenarkan. Negara wajib menegakkan hukum, menyelidiki dan menuntut pelaku sehingga akan memberi rasa keadilan pada korban yang menjadi korban pembunuhan, penyiksaan, pelanggaran HAM. Kita tidak berharap kelompok bersenjata atau kelompok pro-kemerdekaan yang melangsungkan penyelidikan dan penuntutan, karena itu merupakan tugas negara. Hukum internasional mewajibkan negara untuk menyelesaikan berbagai persoalan kekerasan, menuntut siapapun pelakunya lewat mekanisme pengadilan,” jelasnya,

UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Dinilai Tepat

Namun Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, menilai penggunaan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan penetapan kelompok bersenjata di Papua sebagai teroris sudah tepat karena “penggunaan kekerasan oleh pihak-pihak tertentu yang melawan pemerintah yang sah telah sampai pada kekerasan yang mengarah pada terorisme.”

Pakar hukum internasional UI, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana (Foto: Courtesy).

Dengan jernih Hikmahanto melihat tiga bentuk aksi kekerasan yang terjadi di Papua, yang bersifat kriminal semata, yang bertujuan memisahkan diri dari NKRI, dan yang berniat menciptakan dan melanggengkan teror. Menurutnya Pasal 6 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan jelas menyatakan “setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror dan rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup atau fasilitas publik dan fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun, pidana penjara seumur hidup atau pidana mati.”

Lebih jauh Hikmahanto mengatakan “penggunaan kekerasan oleh pihak-pihak tertentu di Papua tidak mungkin dihadapi pemerintah dengan kesejahteraan semata, tetapi juga penggunaan kekerasan.”

Menurutnya dunia dan masyarakat internasional akan “sangat bisa memahami bila pemerintah memberlakukan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu,” dan bahwa penggunaan kekerasan oleh pemerintah “bukanlah justifikasi untuk bertindak represif di Tanah Papua.”

Linda Gurning dan putri semata wayangnya Windy hingga hari ini masih terus mencari jawaban atas kematian Harry Siregar. (Foto: pribadi)

Linda Gurning, salah seorang keluarga korban kekerasan di Papua, mengatakan memahami ketegasan pemerintah saat ini karena menurutnya “sudah terlalu lama hal ini dibiarkan berlarut-larut.” Pemerintah, ujarnya, sudah berusaha keras tidak saja dengan membangun sumber daya manusia dan infrastruktur di Papua, juga dialog, “tetapi jika saya berdiskusi dengan teman-teman di Papua mereka tetap ada persoalan yang belum selesai, bahwa mereka merasa dibohongi. Saya juga bingung tidak tahu harus bilang apa.”

Ibu satu anak yang hingga kini masih mencari jawaban atas pembunuhan suaminya itu berharap persoalan kekerasan di Papua segera selesai agar tidak ada lagi korban baru. “Juga agar tidak ada lagi istri atau ibu yang setiap kali memperingati kepergian suami atau anggota keluarganya hanya dapat memasang berita atau foto-foto di sosial media, guna menjaga ingatan kami sementara menunggu jawaban dari pihak berwenang.” [em/jm]

Oleh: VOA

Hukum

Peristiwa

Kesehatan