Berita Ketapang: Polemik Hari ini -->
Tampilkan postingan dengan label Polemik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Polemik. Tampilkan semua postingan

Februari 07, 2022

PT BGA Berpolemik Dengan Masyarakat Dusun Mambuk, Karena Diduga BPN Terbitkan Dua Peta Bidang Tanah Yang Tidak Sesuai


Borneotribun.com - Kantor Badan Pertanahan Negara Kabupaten Ketapang di Jalan S. Parman

BorneotribunKetapang  - Terkait polemik yang muncul antara PT Inti Sawit Lestari (ISL) BGA Grup dengan masyarakat Dusun Mambuk Desa Segar Wangi Kecamatan Tumbang Titi pasca mereka memenangi lelang lahan perkebunan milik eks PT Benua Indah Grup (BIG) diduga akibat ulah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ketapang yang menerbitkan 2 peta bidang tanah yang bertentangan satu dengan lainnya.


Padahal SHGU milik BGA Grup dengan peta berbentuk vertikal diketahui didapat dari hasil lelang resmi yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Pontianak melalui Pengadilan Negeri (PN) Ketapang berdasarkan Risalah Lelang No 134/2015 tertanggal 26 Mai 2015.

Namun, belakangan muncul peta berbentuk horizontal yang diklaim oleh BPN Ketapang sebagai peta milik BGA Grup selaku pemenang lelang lahan perkebunan eks PT BIG. Hal ini memicu polemik lantaran adanya pihak ketiga dan juga masyarakat yang akhirnya mengklaim sejumlah lahan perkebunan di peta vertikal milik BGA Grup.

"Persoalan ini muncul karena BPN mengeluarkan dua peta bidang tanah yang bertentangan dan tidak sesuai dengan peta bidang tanah yang kami dapat melalui proses lelang resmi oleh negara," ungkap kepala perwakilan PT BGA, Riduan, Senin (7/2/2022).

Riduan melanjutkan, yang menjadi pertanyaan pihaknya kalau memang peta bidang tanah yang benar adalah peta bidang berbentuk horizontal kenapa pihak BPN selama ini tidak pernah memberikan peringatan atau teguran terhadap PT BIG selaku pemilik lahan awal yang telah melakukan penanaman kurang lebih 20 tahun lamanya dan membiarkan proses lelang hingga dimenangkan pihaknya dengan peta bidang tanah berbentuk vertikal yang pihaknya terima.

"Padahal proses lelang juga melibatkan BPN Ketapang, karena mereka yang mengeluarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) pada tanggal 23 Oktober 2014 sesuai dengan surat a. No.45/2014,PT. Subur Ladang Andalan(4.397,68Ha), b. No. 46/2014, PT. Duta Sumber Nabati (3.087 Ha), c. No.47/2014,PT. Bangun Maya Indah(4.034Ha) yang didalamnya menyatakan kalau status riwayat tanah secara yuridis dan fisik atas suatu bidang tanah dan objek lelang sesuai dengan data buku tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Ketapang, artinya peta vertikal hasil lelang yang kami menangi itu telah diakui BPN Ketapang, lantas kenapa ada peta bidang horizontal yang sekarang muncul," tanyanya.

Riduan menambahkan, pada saat proses balik nama menjadi hak milik BGA Grup, BPN Ketapang telah melakukan pengecekan dan pemetaan Patok Batas HGU dilapangan yang semuanya sudah sesuai dengan yang terdapat didalam SHGU.

"Makanya lucu dan aneh ketika setelah bertahun-tahun pasca menang lelang muncul pihak yang mengklaim HGU milik mereka dan muncul peta bidang horizontal. Kami ikuti lelang resmi dan kami telah membayar biaya lelang ke negara sebesar Rp 160 miliar lebih," terangnya.

Untuk itu, Riduan mengaku pihaknya bukan tidak mungkin akan menggugat BPN dan bahkan penyelenggara lelang negara jika memang mereka dipermainkan sehingga berpotensi membuat mereka rugi.

"Kalau main-main kami akan tuntut dan minta ini diproses hukum," ketusnya.

Selain itu, Riduan juga mengatakan kalau sebelum pihaknya mengikuti lelang tersebut, tidak ada pihak lain yang mau mengikuti lelang, hingga pada saat lelang kelima kalinya pihaknya melalui PT ISL mengikuti lelang dengan tujuan selain pertimbangan bisnis juga karena mengikuti imbauan pemerintah daerah dalam membantu masyarakat yang menerima dampak dari persoalan PT BIG sebelumnya.

"Sekarang kami juga memikirkan banyak masyarakat sebab jika BPN memaksakan diri kami harus memiliki SHGU berbentuk peta horizontal maka apakah BPN siap bertanggung jawab sebab di dalam SHGU horizontal terdapat ribuan SHM bahkan ada rumah ibadah dan sekolah, kalau itu dipaksakan milik kami maka apakah BPN siap bertanggung jawab kepada masyarakat yang tanah dan rumahnya masuk dalam SHGU kami," tegasnya.***(jk)

Agustus 29, 2021

Mengetahui Pokok Persoalan Sebenarnya Polemik Antara PT RIM dan SBI, Akhirnya Djoko Buka Suara

Borneotribun.com - Mantan Direktur PT. SBI, Djoko Saat Menunjukkan Bukti Pembayaran PT. RIM Yang Selalu Cepat dan Sesuai  Invoice Penagihan.

 Borneotribunketapang - Mantan Direktur Operasional PT. Sukses Bintang Indonesia (SBI), Djoko akhirnya buka suara terkait polemik yang terjadi antara PT. SBI dengan PT. Ratu Intan Mining saat ini. Djoko menjelaskan hal ini karena merasa berada di posisi yang netral dan mengetahui pokok persoalan ini.


Djoko mengatakan kalau persoalan ini berawal ketika PT. SBI memutuskan hubungan kerjasama secara sepihak dengan PT. RIM. Padahal sesuai kontrak kerja untuk pemutusan hubungan kerjasama boleh dilakukan pemberitahuan minimal satu bulan sebelum berhenti.

"Namun SBI memutuskan hubungan kerja secara tiba-tiba dan melanggar perjanjian kontrak dengan PT. RIM, ini bisa disebut sebagai wanprestasi, dan resiko dari berhenti sepihak sudah coba saya sampaikan dampaknya ke Direktur SBI namun tidak ditanggapi saat itu, katanya katanya saat ditemui awak media, Sabtu (28/8).

Djoko menceritakan sebelum bekerja dengan PT. RIM, PT. SBI sudah berpindah-pindah lokasi kerja diantaranya seperti dengan PPC, DSM, JUS dan terakhir bersama RIM.

"Namun selalu mengulang kegagalan dalam memanage pengeluaran operasional, angsuran leasing dan Sparepart, hal ini karena keterbatasan modal SBI yang mengakibatkan ketidak mampuan bayar tagihan operasional dan angsuran, dan SBI selalu beralasan kalau pembayaran dari pihak main kontraktor terlambat. Hal ini terjadi lagi kepada PT. RIM, yang selalu dijadikan alasan kepada pihak ketiga kalau PT. RIM tidak bayar, padahal itu karena keterbatasan modal SBI yang tidak mencukupi," jelasnya.

Djoko mengaku, kalau PT. RIM sendiri selama menjalankan kerjasama dengan PT. SBI, pihak PT. RIM sendiri selalu membayar sesuai pencapaian kerja dan invoice yang ditagihkan tanpa pernah terlambat sekalipun bahkan PT. RIM mempunyai niatan baik untuk selalu membantu PT. SBI dengan membayar invoice tagihan lebih cepat dan memberikan pinjaman.

"Perusahaan kontraktor yang sehat itu mempunyai porsi hutang aset maksimal misalkan 60 unit lunas 40 terhutang namun faktanya pihak SBI 100% asetnya masih terhutang, sehingga hanya mengandalkan pembayaran yang dipercepat oleh PT. RIM bahkan pembayaran dari PT. RIM belum bisa menutupi semua hutang SBI dengan pihak ketiga," tuturnya.

Bahkan, Djoko harus memutuskan berhenti bekerja dengan PT. SBI setelah Direktur SBI, Edy Gunawan memutuskan secara sepihak hubungan kerjasama dengan PT. RIM, padahal saat itu ia tidak setuju dengan keputusan Edy lantaran akan berdampak seperti yang terjadi saat ini.

"Jadi munculnya sengketa piutang berjalan sekarang ini diikarenakan SBI yang memutuskan hubungan sepihak dengan PT. RIM. Bahkan meskipun demikian PT. RIM masih memiliki niatan baik dengan mencoba membayar piutang berjalan namun selalu ditolak oleh SBI karena SBI meminta secara cash namun PT. RIM harus menyesuaikan pembayaran tersebut dengan kemampuan cashflow mereka akibat SBI yang berhenti sepihak tersebut," jelasnya.

Untuk itu, Djoko menilai persoalan yang saat ini terjadi murni merupakan sengketa piutang kerja untuk menyelesaikan pembayaran sisa tagihan.

"Setelah berhenti sepihak, SBI tidak mampu membayar gaji karyawan dan suplier lokal sehingga akhirnya PT. RIM berniatan baik memberikan pinjaman untuk menyelesaikan persoalan itu sebesar Rp 3 miliar lebih agar tidak menimbulkan masalah sosial ketenagakerjaan dan untuk menyelamatkan aset PT. SBI agar tidak ditahan oleh pekerja dan suplier, namun niatan baik ini malah tidak diakui PT. SBI," terangnya.

Sementara itu, saat dikonfirmasi Kuasa hukum PT RIM, Nikolas Desta mengatakan, konsep awal kerja itu adalah subkontrak. Dimana pelaksana awal pekerjaan adalah PT RIM kemudian mengalihkan pekerjaan kepada PT SBI. Desta menerangkan, dalam perjanjian kerja itu antara PT SBI dan PT RIM mengerjakan tiga wilayah pertambangan. Dan didalam perjanjian ditetapkan waktu pembayaran dan syarat pengunduran diri.

"Jadi waktu pembayaran itu ditentukan 60 hari sejak tagihan diterima dan dinyatakan lengkap. Serta syarat pengunduran diri satu bulan sejak diajukan," ungkapnya.

Desta, menjelaskan terkait adanya PT SBI yang pada Maret mengklaim  beberapa penagihan  kepada PT RIM, yang sebenarnya tagihan-tagihan tersebut belum jatuh tempo.

“Sebab belum jatuh tempo, PT RIM merasa belum ada kewajiban untuk membayar. Kalau sudah lewat 60 hari itu baru wanprestasi,” jelasnya.

Desta juga menegaskan kalau persoalan antara PT RIM dengan PT SBI merupakan murni perdata karena sengketa bisnis antara dua perusahaan atau PT atau badan usaha terkait masalah pembayaran-pembayaran yang masuknya nanti murni ke perdata wanprestasi.

"Jadi tidak ada penggelapan dalam persoalan ini dan saat ini juga sedang dalam proses pengadilan terkait persoalan perdata ini yang mana ada dua kita sebagai penggugat dan sebagai tertugat, ini tinggal menunggu putusan pengadilan," terangnya.***(jk)

Hukum

Peristiwa

Kesehatan